IDUL FITRI dan NEGARA yang TERTINGGAL

Oleh Muhlis Mustaman
(Koordinator Dept. Advokasi)

Idul Fitri & Negara Yang Tertinggal

Baru saja Idul Fitri lewat, tepatnya pada tanggal 5 juni 2019 sesuai himbauan pemerintah. Dalam ungkapan biasa, seluruh umat Islam berharap masih dapat menjumpai Idul Fitri selanjutnya. Idul Fitri merupakan kemenangan besar bagi pemeluk agama Islam, disambut dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial yang menyerukan perdamaian bagi sesama pemeluknya. Kelihatannya hanya sebatas itu.

Tidak asing lagi terdengar bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar diseluruh belahan dunia. Pada tahun 2019 tercatat kurang lebih 207 juta penduduk Islam dari 267 juta penduduk, sisanya Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu.

Saya terinspirasi dari Sri Yonanto yang beranggapan bahwa umat Islam di Indonesia unggul secara kuantitatif tapi tidak secara kualitatif. Dari masa ke masa seolah-olah ada perubahan diskursus mengenai nilai-nilai keislaman, baik itu diskursus mengenai epistemologi keislaman sampai keterapan aksiologi. Bagi kelompok arus besar Islam di Indonesia, NU dan Muhammadiyah menganggap bahaya radikalisme keislaman sangat berkembang biak, bahkan ke rana-rana produktif seperti media dan lembaga pendidikan. Anak-anak yang masih menduduki bangku sekolah jika menjumpai orang yang notabenenya non-muslim cenderung dikatainya kafir, ditambah lagi seruan-seruan jihad yang sepanjang dekade-dekade kemerdekaan terutama kekecewaan kelompok-kelompok tertentu atas Piagam Jakarta yang merangsang militansi kelompok Islam radikal dengan upaya penerapan secara tekstual Syariat Islam dalam konstitusi negara, berbeda dengan kelompok moderat yang mengindahkan nilai-nilai keislaman dalam konstitusi dicerna dari wilayah substansialnya. Dilain perspektif, radikalisme juga sebenarnya dibutuhkan dalam kehidupan bernegara, karna secara harfiah radikalisme merupakan peniscayaan perubahan sosial, tetapi dalam konteks tertentu. Seperti misalnya perubahan kekuasaan monarki di Iran dibawah Shah Mohammad Reza Pahlavi menjadi Republik Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini yang berbasis Syiah tahun 1979.

Kembali ke pandangan Sri Yunanto tentang keunggulan kuantitatif umat Islam di Indonesia tetapi tidak secara kualitatif. Secara kuantitas umat Islam di Indonesia berpotensi besar dalam gerakan kebangkitan Islam atau gerakan revolusioner Islam, misalnya dalam upaya pemberantasan korupsi dan penanggulangan kemiskinan, karna dalam substansinya, penerapan nilai-nilai keislaman merupakan upaya melawan segala bentuk tirani. Tetapi dalam kenyataannya, kuantitas penduduk muslim Indonesia tidak selaras dengan kualitasnya. Terbukti, walaupun Islam sangat berperan penting dalam partai-partai politik di Indonesia (parlementariat) tetapi justru banyak dari mereka yang terjerat kasus korupsi, alhasil berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan membuat negara mengalami ketertinggalan.

Baru-baru ini hasil observasi data Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kota Makassar mengenai statistik angka kecelakaan lalu lintas arus mudik lebaran 5 tahun terakhir di Indonesia. Pada tahun 2015 terjadi kecelakaan lalu lintas sebanyak 4.998 kali, tahun 2016 sebanyak 4.901 kali, tahun 2017 sebanyak 4.551 kali, tahun 2018 sebanyak 3.210 kali, dan tahun 2019 sebanyak 3.168 kali. Walaupun jumlah kecelakaan lalu lintas 5 tahun terakhir tampak menurun, tapi transisi tahun-tahun sebelumnya ke 5 tahun terakhir tampak meningkat. Seperti misalnya, tahun 2010 terjadi kecelakaan sebanyak 2.246 kali, tahun 2011 sebanyak 2.998 kali, tahun 2012 sebanyak 3.600 kali, begitupun tahun 2013 dan 2014 masing-masing mengalami peningkatan sampai tahun 2015. Data ini hanya menunjukkan angka kecelakaan lalu lintas pada arus mudik lebaran saja, belum ditambah angka kecelakaan diluar arus mudik lebaran.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa ribuan kali kecelakaan itu diakibatkan oleh Human Error yang tidak hati-hati dan tidak taat peraturan. Anggapan seperti itu bisa saja benar bagi sebagian pengemudi, tetapi karna kecelakaan ini sifatnya masif dan berulang-ulang, maka yang menjadi akar masalah dari kecelakaan ini adalah kurangnya sinkronisasi antara semangat Pasar Bebas melalui kebijakan negara dalam industri dan perdagangan otomotif dengan kebijakan dibidang penyediaan infrastruktur jalan raya. Mekanisme pemasaran alat transportasi seperti mobil dan motor melalui kredit dan uang muka ringan mengundang budaya konsumtif masyarakat, sehingga masyarakat lebih memilih mengendarai kendaraan pribadi dibanding transportasi umum, yang justru berdampak pada parahnya kemacetan dan tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Negara seakan-akan kewalahan menyediakan infrastruktur jalan dan mengakselerasi perbaikan transportasi umum, sementara swasta secara agresif memproduksi dan menawarkan komoditi kendaraan tanpa memperdulikan lambannya pertumbuhan jalan dan parahnya kemacetan.

Pada kesimpulannya, parahnya kemacetan dan tingginya angka kecelakaan lalu lintas menandakan ketertinggalan negara dalam hal pengaruh perdagangan otomotif dengan upaya peningkatan infrastruktur jalan raya dan transportasi umum. Belum lagi analisis soal dampak pembangunan infrastruktur jalan raya yang mengkonsekuensikan penggusuran terhadap ruang hidup masyarakat. Nampaknya negara betul-betul terseok-seok dengan keadaan seperti ini.


0 Response to "IDUL FITRI dan NEGARA yang TERTINGGAL "

Posting Komentar