IMF-WB, Indonesia, Majene, dan Rakyat Miskin"
Oleh: Muhlis
Annual meeting IMF-WB di Bali yang dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 189 negara dijadikan ajang euforia ekonomi nasional. Rapat tahunan ini dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk promosi investasi.
Investasi merupakan salah satu instrumen pendapatan nasional. Dalam hal perekonomian, negara ataupun dalam lingkup daerah sangat membutuhkan investasi.
Terkait soal investasi, gejolak yang beberapa waktu lalu di Kabupaten Majene adalah Blok Sebuku Lere-lerekang yang saat ini pada tahap eksplorasi telah dijanjikan soal Investasi China dan potensi MIGAS di Blok Malunda yang masih pada tahap Survey Seismic dikelola oleh Thailand.
Dalam hal mempercepat kesejahteraan ekonomi masyarakat ada tiga poin penting, yakni;
1. Kas Dalam Negeri
2. Utang Luar Negeri
3. Investasi Asing
Indonesia dalam tataran Negara Dunia Ketiga (Negara Berkembang), bicara soal mempercepat kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa dibilang mandek jika hanya terfokus pada poin pertama. Jadi, negara butuh modal lewat utang atau investasi.
Sejak krisis moneter 1997-1998 negara mengalami ketergantungan terhadap IMF-WB dan lambat laun justru menjadikan negara terjerumus dalam utang.
Diterapkannya Undang-Undang PMA di Rezim Soeharto membuka lebar-lebar jalur investasi dalam negeri. Dalam logika investasi, pemilik modal (investor) sepenuhnya memiliki Hak Veto dalam investasi selain negara bersangkutan.
Dari Rezim Soeharto sampai sekarang tidak ada terapan yang sepenuhnya menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat, apalagi masyarakat miskin. Masing-masing dari rezim itu bicara soal ekonomi pemerintah dan negara di dunia.
Muncul opini terapan tandingan "Nasionalisasi Aset Negara" yang sejatinya menjunjung tinggi kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam negara. Aset-aset dalam negara harusnya dikuasai oleh negara sendiri agar terhindar dari intervensi-intervensi dari pemilik modal. Statement-statement tentang ketidakmampuan negara mengadakan alat produksi dan kekurangan SDM hanyalah mitos-mitos atau hegemoni dari si pemilik modal.
Setiap daerah bertumpu pada kebijakan negara. Kasihan banyak rakyat yang kelaparan dan kasihan banyak anak yang tidak mampu bersekolah.
Oleh: Muhlis
Annual meeting IMF-WB di Bali yang dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 189 negara dijadikan ajang euforia ekonomi nasional. Rapat tahunan ini dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk promosi investasi.
Investasi merupakan salah satu instrumen pendapatan nasional. Dalam hal perekonomian, negara ataupun dalam lingkup daerah sangat membutuhkan investasi.
Terkait soal investasi, gejolak yang beberapa waktu lalu di Kabupaten Majene adalah Blok Sebuku Lere-lerekang yang saat ini pada tahap eksplorasi telah dijanjikan soal Investasi China dan potensi MIGAS di Blok Malunda yang masih pada tahap Survey Seismic dikelola oleh Thailand.
Dalam hal mempercepat kesejahteraan ekonomi masyarakat ada tiga poin penting, yakni;
1. Kas Dalam Negeri
2. Utang Luar Negeri
3. Investasi Asing
Indonesia dalam tataran Negara Dunia Ketiga (Negara Berkembang), bicara soal mempercepat kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa dibilang mandek jika hanya terfokus pada poin pertama. Jadi, negara butuh modal lewat utang atau investasi.
Sejak krisis moneter 1997-1998 negara mengalami ketergantungan terhadap IMF-WB dan lambat laun justru menjadikan negara terjerumus dalam utang.
Diterapkannya Undang-Undang PMA di Rezim Soeharto membuka lebar-lebar jalur investasi dalam negeri. Dalam logika investasi, pemilik modal (investor) sepenuhnya memiliki Hak Veto dalam investasi selain negara bersangkutan.
Dari Rezim Soeharto sampai sekarang tidak ada terapan yang sepenuhnya menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat, apalagi masyarakat miskin. Masing-masing dari rezim itu bicara soal ekonomi pemerintah dan negara di dunia.
Muncul opini terapan tandingan "Nasionalisasi Aset Negara" yang sejatinya menjunjung tinggi kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam negara. Aset-aset dalam negara harusnya dikuasai oleh negara sendiri agar terhindar dari intervensi-intervensi dari pemilik modal. Statement-statement tentang ketidakmampuan negara mengadakan alat produksi dan kekurangan SDM hanyalah mitos-mitos atau hegemoni dari si pemilik modal.
Setiap daerah bertumpu pada kebijakan negara. Kasihan banyak rakyat yang kelaparan dan kasihan banyak anak yang tidak mampu bersekolah.
0 Response to " "
Posting Komentar