Oleh: HIRDJAYADI
(Presiden DPP IPPMIM Makassar Periode 2016-2017)
Ramadhan atau sering juga disebut bulan puasa dalam islam merupakan momentum dimana nilai keislaman dijunjung tinggi dan diagungkan (sacral). Ramadhan bagi penganutnya (islam) diyakini sebagai sesuatu yang berbeda dengan lainnya dimana momentum yang lain di anggapnya biasa saja (profan).
Ramadhan dianggap suci karena di dalamnya terkandung pahaman tentang penambahan nilai amal ibadah yang berlipat ganda, mulai dari pelaksanaan aktivitas keagamaan dalam bentuk ritual ibadah sampai pada aktivitas sosial dalam bentuk tolong menolong. Namun, Seiring dengan berjalannya waktu dan berubahnya tatanan dan pola kehidupan masyarakat, kini, tidak bisa di pungkiri ramadhan yang berada di dalamnya telah ikut mengalami perubahan baik dalam tataran konsep sampai pada implementasi (praktik).
Saat ini momentum Ramadhan kembali kita dipertemukan, antusias dan keceriaan sudah mulai terlihat, ada banyak persiapan dan ekspresi yang dilakukan bagi penganutnya(islam) mulai dari kesiapan berbelanja untuk pemenenuhan kebutuhan seperti sembako sampai pada pakaian untuk ibadah. Namun hari ini di akhir abad ke XXI merupakan periode kemenangan modernitas dimana semua sisi kehidupan telah di sentuhnya termasuk ruang keagamaan yakni ramadhan. Modernitas hadir dengan label memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi manusia untuk beraktivitas. Tidak hanya itu modernitas dalam pengertiannya lebih merayakan penampakan dan menyembunyikan subtansi/makna.
Penulis melihat bahwa Ramadhan yang sebelumnya sudah terlihat bukan dengan dominasi aktivitas-aktivitas ritual ibadah melainkan dominasi konsumerisme, ini dapat dilihat dari intensitas komsumsi yang semakin besar didalam kehidupan masyarakat, dilain sisi aktivitas keagamaan telah mulai bergeser dan hamper redup. Dalam momentum ramadhan orang berbelanja pakaian ibadah misalnya yang di lihat adalah motifnya bukan fungsinya sebagai pakaian, konsumsi terhadap barang kini telah bergeser menjadi ibadah, seolah berbelanja menjadi sebuah kewajiban yang dilakukan sebelum dan disaat ramadhan.
Konsumsi dengan orientasi untuk mengejar prestise, memperjelas status sosial mejadi wajah baru bagi Ramadhan yang kehadirannya tidak dapat dielak, hal tersebut terjadi karena adanya peran hasrat yang dominan pada diri manusia atau dalam bahasa felix guatari di sebut mesin hasrat yakni manusia hari ini berekspresi atau mengonsumsi sesuatu bukan dengan dasar kebutuhan melainkan keinginan karena adanya dorongan hasrat yang dominan sehingga konsumsi yang berlebihan justru dianggap sebagai sebuah puncak kebanggaan sekaligus menjadi bagian dari ibadah.
Penulis melihat, hal itu terjadi karena ketidakmampuan sebagian manusia untuk membedakan mana yang harus di dahulukan antara kebutuhan dan keinginan. Ekspansi pasar juga sangat berpengaruh, penjual(produsen) tidak hanya menjual barang dagangannya di tempat yang telah di sediakan tetapi juga di tempat-tempat kerumunan( strategis) dapat kita lihat mesjid tidak hanya di gunakan untuk melaksanakan ritual ibadah, namun kini telah di jadikan tempat untuk transsaksi ekonomi (pasar) terutama yang ada di kota.
Tidak hanya itu, keberhasilan media termasuk media televisi yang di dalam penayangaannya tidak pernah bebas dari iklan untuk menghegemoni masyarakat (pemirsa).
Jadi, melalui tulisan ini semoga kita semua dapat menjadikan momentum Ramadhan sebagai wadah untuk meningkatkan keberimanan dan ketaqwaan dengan senantiasa melaksanakan ritual keagamaan, sehingga makna Ramadhan secara subtansial dapat kita temukan, bukan dengan me-rutinkan diri berkunjung ke pasar (Mall) lalu me-massifkan belanja. Semoga..!!
0 Response to "RAMADHAN YANG TER(KAPITAL)ISASI"
Posting Komentar