Oleh: Muhlis Mustaman
Kord. Dept. Advokasi DPP IPPMIMM
Semalam saya sangat bosan, tidak tahu mau berbuat apa, beberapa kali bolak-balik ambil gitar digantungan paku di dinding kamar, teriak lampiaskan kebosanan, kupaksa juga seorang kawan main catur sampai-sampai justru menambah kebosanan saya karena selalu saja saya kalah. Baiklah, saya kekamar saja, berbaring, menghadap plafon. Kegilaan pun muncul, bertanya konyol, dapatkah negara berperan mengatasi kebosanan saya ini? Atau paling tidak saya merasakan kehadiran negara, tidak seperti kata seorang kawan saya beberapa hari yang lalu. Katanya, ia hanya merasakan kehadiran negara waktu ia di sweeping Polisi lalu lintas.
Sudah, itu tidak penting, kita hentikan basa-basinya.
Pesimisme adalah cara pandang mengesankan, segala sesuatu kita pandang dari sisi buruknya.
Dalam hal bernegara, kira-kira apa yang dapat membuat kita riang gembira?
Misalnya dari jawaban-jawaban ini;
Buruh: saya makan 3 kali sehari, jam kerja 8 jam, dan UMK sesuai.
Mahasiswa: semua diberikan hak memperoleh pendidikan formal.
Petani: negara tidak impor beras.
Gelandangan: saya dipelihara negara.
Kaisar: pembangunan bisa saya maksimalkan.
Jawaban-jawaban diatas bisa saja terjadi. Tapi, pada jawaban Kaisar menarik untuk kita tanggapi. Khususnya di Indonesia sendiri, terserah pembaca ingin menganggapnya seperti apa, tapi bagi saya, Indonesia bisa saja dikategorikan Overdeveloped State (negara yang terlalu maju). Asumsi negara dalam hal kemajuan adalah Pembangunan besar-besaran. Sekali lagi, ini menarik untuk dibahas. Sekalipun pembangunan besar-besaran belum sepenuhnya merata di seluruh daerah, lambat laun akan terjadi juga. Selama negara ber-Mazhab ekonomi Neoliberalisme, daerah-daerah tertinggal akan dilirik juga untuk melangsungkan pembangunan.
Paradigma ini mesti diuji. Apakah ukuran sebuah negara maju adalah pembangunan atau keadaan bahagia masyarakat? Kalau pembangunan hanya membuat bahagia kelas dominan atau kelas berkepentingan saja, berarti paradigma ini gagal.
Baiklah, kita lanjutkan pembahasan pada hal yang lebih membuat pesimis lagi.
Masih terkait soal pembahasan diatas, kali ini orientasinya lebih kepada membangun paradigma baru, jika memang paradigma mainstream tadi gagal. Artinya kita butuh aktor-aktor ideal atau Dewan-Dewan Revolusioner. Kita ambil contoh, sebut saja Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Beberapa waktu lalu, ada asumsi yang berkembang dalam masyarakat, bahwa Majene adalah wilayah yang dianak tirikan di Sulawesi Barat, asumsi itu berkembang pada waktu sengketa blok Migas kemarin. Menurut hemat saya, pasti ada hal menarik dibalik itu. Misalnya, Majene bisa saja adalah pusat lawan politik Pilgub kemarin, atau hal yang lebih mengerikan lagi adalah Dewan yang mewakili suara rakyat Majene di Provinsi itu tidak ideal.
Dari pembacaan diatas, sekali lagi, terserah para pembaca ingin menanggapinya seperti apa, tapi yang jelas saya mengajak para pembaca agar mampu menamai realitasnya sendiri, apakah kursi-kursi misalnya dalam tataran legislator itu benar-benar di isi oleh orang-orang ideal atau hanya dengan niat mencari kedudukan saja? Jika iya, maka wajar saya pesimis dan wajar saya selalu dibelenggu kebosanan.
Kita butuh refleksi, apakah eksistensi negara membuat kita aman dan sejahtera atau justru membahayakan? Kalau memang membahayakan, maka jangan salahkan para pemberontak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Pesimisme Ber"Negara""
Posting Komentar